"Laughter is an instant vacation"

1.9.10

Short Story

seperti yang gue janjikan. cerpen nya uda janji. agak terburu-buru sih bikin endingnya, maap2 kalo jelek. judulnya juga mungkin kurang gmn gt. terburu-buru gitu loh. selamat berkomentar :

mata dan tangan

Namaku Amber. Umurku tujuh belas tahun dan aku tinggal di sebuah kota kecil di Jepang, yaitu Otaru. Ayahku meninggalkan ibuku dan aku saat aku masih bayi. Aku tidak begitu mengenal ayahku, hanya mengenalnya dari sedikit cerita-cerita ibu. Kata ibu, ayah adalah seorang pengusaha sukses dan sekarang ayah tinggal di Tokyo. Mungkin hanya itu yang aku ingat dan perlu ku ingat tentang ayah. Saudara kandung? Ibu tidak pernah menyinggung hal itu. Aku juga tidak banyak berharap tentang itu.

Sekarang aku hanya tinggal bersama ibuku. Meskipun hidup tanpa seorang ayah ataupun saudara kandung aku tetap bahagia hidup berdua dengan ibuku. Kami sangat akrab. Ibuku lebih seperti sahabat bagiku. Aku bisa berkeluh kesah dan bercanda sepuasnya dengan ibu. Selain ibu, aku punya empat orang sahabat yang selalu menemani hari-hariku. Karena merekalah aku tidak pernah merasa kesepian. Mereka adalah Minako, Hikaru, Ryo dan Teru. Kami memiliki hobi yang sama, yaitu berenang. Sejak kecil kami berempat sangat senang berenang bersama hingga sekarang. Kami satu sekolah dan satu kelas tahun ini.

Berenang adalah satu-satunya talenta yang aku miliki. Sejak kecil aku sudah mengikuti banyak kejuaraan berenang dan cukup banyak kejuaraan yang aku menangkan. Sahabat-sahabatku dan ibu selalu mendukungku. Mereka sudah kuanggap seperti saudara kandungku. Namun terkadang, walaupun aku memiliki ibu yang sangat hebat dan sahabat-sahabat yang setia, aku merasa ada bagian dari diriku yang hilang. Ada sesuatu yang kosong, entah apa itu.

Tanggal 16 Juli 1995 adalah hari pertama memasuki tahun ajaran baru di SMU Meishou. Hari pertama pun di mulai, seperti biasa aku dan keempat sahabatku pergi ke sekolah bersama dan bertukar cerita serta bercanda seperti biasanya. Hari pertama ini diawali dengan upacara penyambutan murid-murid baru. Seusai upacara kami berkumpul di kolam renang sekolah. Kami tergabung dalam klub renang di sekolah. Disinilah tempat kami menghabiskan waktu bersama.

Klub renang kami sudah mulai aktif dan beberapa kompetisi sudah diumumkan akan digelar. Dalam empat bulan ke depan akan ada sebuah kompetisi yang akan di gelar di kota Narita. Kompetisi ini cukup bergengsi di Jepang dan hanya diadakan 2 tahun sekali. Tahun lalu, aku gagal mengikuti kompetisi ini. Sejak kecil aku selalu mendambakan memenangkan kompetisi ini. Pemenang kompetisi ini akan mendapatkan beasiswa dan dikirim ke berbagai kompetisi renang internasional, karena itulah aku sangat mendambakannya. Ini merupakan salah satu impianku, yaitu menjadi atlit renang internasional. Pelatih kami, pak Takao akan mengirimkan dua orang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Dua orang yang terdiri dari satu orang dari tim wanita dan satu orang lagi dari tim pria.

“Saya akan melakukan audisi bagi kalian yang ingin mengikuti kompetisi ini. Audisi akan saya lakukan satu bulan lagi. Jadi persiapkanlah diri kalian masing-masing sebaik mungkin” itulah kalimat yang pak Takao lontarkan, dan kalimat ini terus terngiang di benakku. Satu bulan? Apakah cukup untuk mempersiapkan diri? Kita tidak akan tahu jika tidak mencobanya.

Aku dan sahabat-sahabatku giat berlatih bersama. Setiap minggunya kami berlatih dua kali agar maksimal pada audisi nanti. Tapi bagaimana jika di antara kami ada yang tidak terpilih? Kami sepakat bahwa siapapun yang terpilih, kami akan selalu mendukung satu sama lain.

Aku terus berlatih. Di saat yang lain sudah selesai berlatih, aku masih terus berlatih. Sampai-sampai tidak ingat waktu.

Satu bulan berjalan, dan tiba-tiba saja audisi itu sudah tiba di depan mata. , Aku sangat tegang, grogi, bingung, dan takut. Semua bercampur jadi satu. Teru menyadari tingkah lakuku yang tidak biasanya sejak pagi. Ia menghampiriku dan menguatkanku. Kata-katanya yang selalu kuingat yaitu, “Yakin dan percaya bahwa kamu bisa Amber, bagaimana kamu bisa kalau dari hatimu sendiri tidak yakin?” Kata-kata itu menggerakkanku. Semua sudah diaudisi dan sekarang giliranku.

“Amber, sekarang giliranmu,” kata pak Takao.

“Semangat Amber!” teriak Minako, Hikaru, Ryo dan Teru menyemangatiku.

Aku langsung mengambil posisi dan segera mengayunkan lengan-lenganku sekuat mungkin. Dalam hati aku berkata, inilah yang terbaik yang bisa aku lakukan untuk membuat ibu bangga.

“Saya akan mengumumkan siapa yang akan terpilih untuk kompetisi ini,” kata pak Takao.

Aku tidak memberi tahu ibu tentang audisi ini. Aku tidak mau mengecewakannya jika aku tidak lolos audisi nanti. Lebih baik aku tunggu sampai pengumuman dari pak Takao saja. Kalaupun lolos dalam audisi ini, masih panjang perjuangan yang harus kutempuh untuk mencapai impianku. Aku masih harus bersaing dengan para perenang di Jepang. Banyak sekali bukan? Khayalanku mungkin terlalu jauh. Lolos audisi saja sudah cukup memuaskan untukku.

Aku hanya menunduk dan diam saja menunggu pengumuman. Ya, aku hanya menunduk dan diam saja sampai saat namaku disebut oleh pak Takao.

“Amber dan Teru, kalianlah yang akan mewakili sekolah kita untuk kejuaraan Narita tahun ini,” itulah kalimat yang pak Takao katakan.

Aku masih diam terpaku tidak percaya bahwa namaku lah yang baru saja di sebutkan pak Takao.

“Amber! Kamu lolos! Selamat ya!” kata Minako dan Hikaru serentak.

Barulah aku sadar, dan senyumku langsung memekar tak tertahankan. Aku sangat senang dengan berita ini. Dan Teru juga terpilih! Tidak sia-sia usaha latihanku selama ini.

Dalam perjalanan pulang, kami berempat berjalan dengan langkah-langkah bahagia. Aku tidak bisa berhenti tersenyum, begitu pula Teru.

“Sekali lagi selamat ya Amber dan Teru, kalian membuat kami bangga,” kata Hikaru.

“Dan kami akan selalu mendukung kalian tentunya. Aku yakin kalian bisa menjadi atlit renang internasional,” sahut Minako.

“Setuju!” semua serempak menjawab.

Aku langsung segera pulang karena tidak sabar memberi tahu ibu kabar baik ini. Saat aku memberi tahu berita baik ini, ibu tidak kalah gembiranya dariku. Ia tersenyum lebar dan memelukku erat sambil berkata, “Selamat ya Amber! Ibu benar-benar bangga padamu. Semua jerih payahmu telah terbayar.” Kalimat itu yang menghantarkanku tidur dengan nyenyak malam ini.

Pelatihan akan dilakukan di sekolah masing-masing selama satu bulan, lalu setelah satu bulan para peserta akan di berikan pelatihan khusus selama dua bulan di Narita. Aku dan Teru pun mulai berlatih dengan rutin mengingat kompetisi Narita sudah dekat. Tiga bulan waktu yang tersisa dan latihan tidak semudah yang aku bayangkan. Pak Takao melatih aku dan Teru cukup keras. Aku mengerti alasannya. Karena persaingan pada kompetisi Narita tidak dapat diremehkan. Aku sempat mencapai titik puncak putus asa. Lelah, takut dan ingin menyerah rasanya. Tapi tidak dengan Teru, ia tetap semangat dan giat berlatih. Itulah yang membuat aku termotivasi kembali dan semua terasa lebih ringan karena sahabat-sahabatku yang selalu mendukungku setiap hari.

Pelatihan khusus pun tiba. Aku dan Teru harus absen dari sekolah untuk mengikuti kompetisi ini. Aku juga harus meninggalkan sahabat-sahabatku untuk sementara dan juga ibu. Berat rasanya meninggalkan mereka, walaupun hanya untuk dua bulan.

“Amber, Teru kalian harus semangat ya! Kami semua mendukung dan mendoakan kalian selalu,” kata Hikaru.

“Terima kasih kawan-kawan. Kalian juga semangat belajar ya,” kataku.

“Baiklah, kami berangkat. Doakan kami,” kata Teru.

Begitulah perpisahan singkat kami. Ibu mengantarku sampai di stasiun kereta. Aku dan ibu berpelukan. Tidak rela melepaskan pelukan hangat ibu yang tidak akan kudapatkan dua bulan kedepan.

Sampailah aku, Teru dan pak Takao di Narita. Tepatnya di gedung olah raga Narita. Gedung itu begitu besar dan penuh dengan peserta-peserta lainnya dari berbagai kota di Jepang. Kami semua akan menginap di asrama pelatihan khusus yang terletak di belakang gedung olah raga tersebut. Besok pelatihan khusus akan segera dimulai, jadi hari ini kami harus segera beristirahat untuk hari esok.

Esok harinya, aku dan Teru pagi-pagi menuju kolam renang dan memulai pelatihan khusus dengan pak Takao. Latihan di Narita ini ternyata lebih melelahkan dibandingkan dengan pelatihan yang pak Takao berikan saat masih berlatih di sekolah dan di Narita ini kami bisa melihat langsung bagaimana peserta-peserta lainnya berlatih. Aku dan Teru sudah mulai terbiasa dengan pelatihan ini. Sudah dua jam lamanya aku dan Teru berlatih.

Selama kami berlatih, ada seorang anak laki-laki berkursi roda di ujung kolam renang yang terus memperhatikan kami berlatih. Wajahnya tidak asing bagiku, meskipun kami belum pernah bertemu sebelumnya dengan anak itu. Esok harinya, anak itu ada kembali di ujung kolam renang dengan hal yang sama. Yaitu memperhatikan aku dan Teru berlatih. Begitu seterusnya selama satu minggu. Karena merasa penasaran aku dan Teru menghampiri anak itu,

“Mengapa kau selalu memperhatikan kami dari sini?” tanya Teru tanpa basa-basi.

“Perkenalkan namaku Kurosaki, aku kagum dengan kalian. Cara kalian berenang begitu hebat.” jawab anak itu dengan senyum yang melebar.

Aku dan Teru tertegun. Anak ini sungguh ramah dan kelihatannya periang.

“Terima kasih Kurosaki. Perkenalkan aku Amber dan ini Teru sahabatku, kami dari Otaru. Kau pasti tidak tahu dimana Otaru kan? Otaru adalah kota yang sangat terpencil,” tanggapku.

“Salam kenal Amber, salam kenal Teru. Hmmm rasanya aku pernah mendengar kota itu. Tapi duluuuuuu sekali,”jawabnya.

Dan perbincangan itu berlanjut terus sampai larut malam. Kurosaki anak yang menyenangkan. Saat berbincang dengannya aku merasa sudah mengenalnya. Padahal ini pertemuan kami untuk pertama kalinya. Kurosaki bercerita tentang dirinya yang sekarang hanya dapat bergerak dengan bantuan kursi roda. Ia seharusnya mengikuti pelatihan khusus ini sama sepertiku dan Teru. Tiba-tiba saja ia terserang suatu penyakit yang ia tidak sebutkan apa penyakitnya itu. Karena penyakit tersebut ia harus digantikan dengan peserta lain. Ia merasa kesal dengan kejadian itu. Aku bisa melihat betapa kesalnya ia dari raut wajahnya. Aku tidak bisa membayangkan jika aku berada di posisinya. Karena kompetisi ini merupakan impian baginya, sama seperti aku. Ia sudah menyukai berenang sejak ia kecil, sama seperti aku. Ternyata banyak kesamaan dalam diri kami. Aku merasa cocok dengan Kurosaki, sangat cocok. Aku terus mencoba menyemangatinya, untuk jangan putus asa.

Sekarang ia sedang menjalani perawatan di rumah sakit Narita yang terletak tidak jauh dari gedung olah raga Narita. Sejak saat itu, setiap aku berlatih pasti Kurosaki menyemangatiku di pinggir kolam renang. Ia juga menyemangati Teru. Kami pun semakin dekat dan Kurosaki menjadi penyemangat setiaku. Walaupun latihan di Narita ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi aku merasa latihan ini menjadi ringan karena setiap latihan pasti ada Kurosaki yang menggantikan sahabat-sahabatku dan ibuku untuk mendukungku.

Satu bulan pelatihan sudah aku lewati, tersisa satu bulan lagi. Disaat tersisa satu bulan ini lah aku merasa tidak tenang. Sama seperti saat audisi di sekolah. Aku takut aku tidak bisa membawa nama baik sekolah, aku takut mengecewakan ibu, aku takut mengecewakan sahabat-sahabatku, aku takut mengecewakan pak Takao yang sudah melatihku dengan sabar.

“Jangan pikirkan semua beban-bebanmu Amber. Kamu harusnya bersyukur sudah bisa berjuang sejauh ini. Maka dari itu kamu harus terus berlatih dan jangan pernah menyerah ya,” kata Kurosaki. Aku merasa kekosongan yang terkadang aku rasakan sudah terisi kembali. Entah mengapa.

Satu bulan ini aku habiskan dengan terus berlatih. Tidak peduli waktu. Bersama Teru dan Kurosaki aku berjuang. Tiada hari aku lewatkan tanpa berenang. Aku terus mencoba memperbaiki kekuranganku, meningkatkan staminaku, memperbaiki tehnikku dalam berenang dan mengembangkan percaya diri di dalam diriku. Setiap malam aku berdoa kepada Tuhan, tolong berikan yang terbaik bagiku. Aku percaya semua jalan yang Tuhan berikan adalah yang terbaik bagiku.

Pertandingan penyisihan pun dimulai hari ini. Ini adalah pertandingan pertamaku di Narita. Jika aku menang hari ini, masih ada dua pertandingan lagi yang akan mengantarkanku ke babak semifinal dan final. Kurosaki menonton pertandinganku di bangku penonton dan melambaikan tangannya kepadaku. Aku merasa sangat siap dan percaya diri.

Wasit memberi aba-aba dan pertandingan pun dimulai. Aku segera menggerakan lengan-lenganku dan kakiku dengan cepat dan seimbang. Itulah yang pak Takao ajarkan kepadaku. Cepat dan seimbang. Tidak terasa aku sudah sampai lagi di titik awal. Ternyata aku yang pertama kali tiba di titik awal. Aku menang! Aku segera melambaikan tangan kepada Kurosaki dan ia membalasnya dengan senyuman lebar. Begitu pula Teru, ia juga memenangkan pertandingan hari ini. Dua pertandingan selanjutnya juga aku menangkan, begitupun Teru. Di setiap pertandinganku dan Teru, Kurosaki setia menyemangati kami dari bangku penonton. Pak Takao sangat bangga kepada kami.

“Selamat ya kalian masuk babak semifinal, aku semakin kagum kepada kalian,”

“Ini semua juga berkat semangatmu Kurosaki, terima kasih ya,” jawabku.

“Betul. Kurosaki apa kau baik-baik saja? Wajahmu tampak sangat pucat,” tanya Teru.

“Oh ya? Jangan khawatir, mungkin ini hanya efek dari obat dokter,” jawabnya.

Sejak Teru bertanya seperti itu, aku baru sadar. Wajah Kurosaki makin hari semakin pucat. Aku khawatir apakah ia sungguh baik-baik saja?

Hari ini adalah babak semifinal bagiku juga Teru. Teru memenangkan pertandingan hari ini. Berarti ia masuk kek babak final nanti. Aku sangat tegang. Tiba-tiba aku melihat ibu dan sahabat-sahabatku juga Kurosaki di bangku penonton. Aku segera melambaikan tangan kepada mereka dengan semangat. Mereka balas melambaikan tangan. Tapi, darimana ibu kenal Kurosaki? Mereka terlihat berbincang. Ah itu tidak penting, aku harus fokus pada pertandingan ini supaya bisa lolos ke babak final besok.

Wasit memberikan aba-aba dan pertandingan segera di mulai. Aku langsung berenang secepat mungkin dan seimbang mungkin. Perasaan semangat meluap-luap melalui ayunan lengan-lenganku. Aku mengeluarkan seluruh stamina dan kemampuanku yang sudah susah payah aku asah selama ini. Saat aku sampai di titik awal, aku takut mendengar siapa pemenangnya. Ternyata aku urutan pertama! Bahagianya bukan main. Aku segera melambaikan tangan kepada ibu, sahabat-sahabatku juga Kurosaki. Tapi mereka tidak ada di bangku penonton. Tiba-tiba Teru datang dengan panik dan berkata bahwa Kurosaki sedang dilarikan ke rumah sakit karena penyakitnya kambuh. Aku segera berpakaian dan berlari ke rumah sakit. Aku meneteskan air mataku saat berlari, aku sangat takut kehilangan Kurosaki. Aku kembali merasakan kekosongan itu.

Sampai di rumah sakit, ibu sedang menangis di bangku koridor di kelilingi sahabat-sahabatku.

“Ibu! Dimana Kurosaki sekarang?!” tanyaku panik.

“Tenang Amber, tenangkanlah dirimu dahulu. Kurosaki sedang diperiksa oleh dokter. Ia akan baik-baik saja,” kata Ryo.

“Maafkan ibu, Amber,” ucap ibu sambil terisak tangis.

“Ada apa bu? Jelaskan kepada Amber bu, Amber mohon,”

“Kurosaki adalah saudara kandungmu. Ia adalah saudara kembarmu,” jawab ibu.

“APA? Tapi kenapa bu? Kenapa ibu tidak pernah menceritakannya?”

Ibu tidak kuat menjawab. Ia memelukku erat sambil menangis begitu deras. Aku tidak kuasa menahan air mataku melihat ibu seperti ini.

“Ibu sudah tahu hari ini akan terjadi. Ibu tidak mau kamu dan Kurosaki bertemu karena ibu ingin menutupi masa lalu ibu dan ayah yang begitu keras. Ibu tidak ingin membuka luka lama itu, ibu ingin membuka lembaran baru bersamamu Amber,” jawab ibu. Kemudian ibu menjelaskan bahwa ayah saat ini sudah menikah lagi dengan wanita lain. Kurosaki tinggal bersama nenek dari ayah di Tokyo. Nenek tidak tahu bahwa selama ini Kurosaki selalu datang ke gedung olah raga Narita. Dan ternyata Kurosaki sudah mengetahui bahwa aku adalah saudari kembarnya.

Tak lama kemudian seorang dokter muncul. “Penyakit jantung koroner yang diderita Kurosaki sudah dapat kami atasi. Hanya saja hari ini penyakit itu kambuh. Dalam beberapa bulan perawatan intensif penyakit itu dapat disembuhkan. Hari ini Kurosaki harus beristirahat penuh. Jadi kami mohon bantuannya. Terima kasih,” ucap sang dokter.

Kami semua merasa lega akan berita baik tersebut.

“Amber, maafkan ibu ya. Ibu menyesal akan perbuatan ibu ini,” ucap ibu. Aku mengangguk dan segera memeluk ibu erat.

Ibu dan sahabat-sahabatku harus segera pulang karena hari sudah kunjung petang. Mereka berjanji akan menyaksikan pertandingan finalku besok. Sekarang tinggal aku dan Teru. Kami memandang Kurosaki yang tertidur lemas dan berdoa bersama untuk kepulihannya. Setelah itu kami segera kembali ke asrama dan beristirahat untuk hari besar besok.

Hari besar ini pun tiba. Seperti yang dijanjikan, ibu dan sahabat-sahabatku hadir untuk mendukungku dan Teru. Pertandingan besarku akan segera dimulai. Impianku sudah di depan mata. Tetapi entah mengapa aku merasa tidak siap. Kurosakilah yang selalu ada di benakku. Dia lah yang selama ini aku cari untuk mengisi kekosonganku. Tiba-tiba saja ada yang memanggil namaku dengan sangat keras. “AMBBEERR, AYO SEMANGAT!” ternyata itu Kurosaki. Aku menangis, tangis bahagia melihat Kurosaki hadir untuk mendukungku.

Pertandingan segera dimulai. Aku mengerahkan semua tenaga dan stamina yang kumiliki. Impian ini tidak akan aku lepaskan. Aku akan memenangkan pertandingan ini. Semua untuk Kurosaki, jiwaku yang selama ini hilang. Aku menggerakkan seluruh tubuhku sesempurna mungkin. Saat mencapai titik awal, staminaku sudah habis. Pak Takao menarikku ke atas dan memelukku erat sambil berkata, “Amber! Kamu menang nak! Kamu berhasil!” mendengar itu aku langsung berlari ke bangku penonton dan memeluk ibu dan Kurosaki. Tangis bahagia ku bercucuran. Sekarang aku merasa utuh.

“Amber! Selamat ya, kamu wanita terhebat yang pernah aku kenal!” kata Ryo.

“setuju!” sahut Minako dan Hikaru

“Terima kasih kawan-kawan. Aku sayang kalian!” kataku sambil memeluk mereka erat.

Kemudian tibalah saatnya Teru bertanding. Kami semua duduk di bangku penonton dan berseru menyemangati Teru. Teru berenang bagaikan memiliki sirip. Sangat cepat. Peserta lainnya tertinggal jauh dari Teru. Dengan begitu Terulah yang menjadi pemenang pertandingan ini. Kami semua langsung menghampiri Teru dan memberikan selamat. Sekarang semua terasa semakin sempurna dan semakin utuh. Aku merasa sempurna. Impianku dan Teru tercapai dan aku menemukan sebagian jiwaku yang hilang. Aku dan Kurosaki seperti mata dan tangan, saat tangan terluka mata menangis dan saat mata menangis tangan yang menghapus air mata. Tidak ada lagi kekosongan yang menghantuiku selama ini. Aku berhasil membuat pak Takao dan ibu bangga.

Aku dan Teru mendapatkan beasiswa di London School of Sports and Arts. Kami berhasil menjadi atlet renang internasional peringkat pertama seluruh dunia.

Semua jerih payah kami terbayar. Terima kasih Tuhan.



komen ya, kalo jelek blg aja jelek. kalo bagus ya Puji Tuhan. kalo basi yaudah pasrah gue
hehe

thank you
*sendun*



No comments:

Post a Comment